Bumi Manusia merupakan novel pertama dalam Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Novel tersebut ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer saat ditahan di Pulau Buru. Itu diceritakan berulang kali oleh teman-temannya mulai tahun 1973 sebelum ditulis pada tahun 1975.
Setelah diterbitkan, Bumi Manusia dilarang beredar selama satu tahun atas perintah Menteri Kehakiman (Jaksa Agung). Novel tersebut berhasil dicetak ulang sebanyak 10 kali antara tahun 1980-1981 sebelum dilarang. Pada tahun 2005, novel ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada bulan September 2005, novel ini diterbitkan ulang di Indonesia oleh Lentera Dipantara.
Identitas Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
Judul | Bumi Manusia |
Penulis | Pramoedya Ananta Toer |
Tahun Terbit | 1980 |
Penerbit | Hasta Mitra |
Tebal | 535 Halaman |
Sinopsis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
Novel ini menceritakan peristiwa antara tahun 1898 dan 1918, periode di mana ide politik balas dendam muncul dan awal dari era kebangkitan nasional. Periode ini juga merupakan awal dari pemikiran rasional yang masuk ke Hindia-Belanda, periode awal tumbuhnya organisasi modern, dan awal lahirnya demokrasi model Revolusi Perancis.
Novel ini mengikuti perjalanan seorang karakter bernama Minke. Minke adalah salah satu anak Pribumi yang belajar di HBS. Saat itu, satu-satunya orang yang bisa masuk ke HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang cerdas yang sangat pandai menulis. Karya-karyanya sangat mengesankan banyak orang dan diterbitkan di berbagai surat kabar Belanda saat itu.
Sebagai penduduk asli, dia tidak disukai oleh mahasiswa Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner dalam novel ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang menimpa rakyatnya. Ia juga berani memberontak terhadap budaya Jawa yang membuatnya terpuruk.
Selain Minke, novel ini juga menggambarkan seorang “Nyai” bernama Nyai Ontosoroh. Nyai dianggap sebagai wanita yang tidak bermoral pada saat itu karena dia adalah wanita simpanan. Status Nyai membuatnya sangat menderita karena dia tidak memiliki hak asasi manusia yang layak.
Menariknya, Nyai Ontosoroh juga menyadari situasi ini, sehingga ia membuat dirinya diakui sebagai manusia melalui upaya belajar terus menerus. Nyai Ontosoroh percaya bahwa hanya dengan belajar seseorang dapat melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dll. Minke pun jatuh cinta dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, putri Nyai Ontosoroh dan Tuan Millema.
Melalui novel ini, penulis menggambarkan keadaan pemerintah kolonial Belanda saat itu. Nyai yang tidak sekolah adalah guru yang baik untuk murid HBS Minke. Bahkan pengetahuan ibu yang didapat dari pengalaman, novel, dan kehidupan sehari-hari sebenarnya lebih luas dari guru-guru yang ada di HBS.